novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Saya dan teman-teman berpandangan. Tetapi kenyataan bahwa calon suaminya seorang duda tampaknya tidak menggoyahkan niat teman saya tersebut.

“Kamu harus bertemu dengan mantan istrinya, minimal bicara.”

“Saya tidak harus melakukan itu,” kalimatnya bersikeras,
“sebab saya percaya kepadanya.”

Kami menyerah. Dan sepanjang jalan, si muslimah terus memuji-muji calon suaminya yang warga negara asing itu.

Di sampingnya sang kakak yang mendampingi dan cukup dekat dengan kami, ikut menasihati. Tapi pendiriannya tak berubah.

Dia tidak hanya ganteng, tapi juga cerdas! Dia sangat pintar bicara. Pengetahuannya begitu luas. Keislamannya pun baik.

Lalu sebelum berpisah, muslimah tersebut menutup dengan sebuah kalimat yang dulu akrab dengan kami,

“Saya tidak punya kelebihan seperti kalian. Dan bisa menikah dengan lelaki ini jauh melampaui impian saya!”

Kami mendadak sadar, dan tak ingin merusak kebanggaannya.

Pernikahan tetap berlangsung. Sekalipun sang kakak dan ibu si muslimah awalnya menentang keras. Perlahan seluruh keluarga luluh dengan pembela an-pembelaan si muslimah.

“Saya harus menikah dengan dia. Dia adalah hal terbaik yang pernah datang dalam hidup saya!”

Saya hadir dan menikmati kegembiraan teman tersebut, dalam pernikahan yang diadakan besar-besaran. Maklum keluarga mereka adalah keluarga terpandang. Kedua orang tua si muslimah adalah pejabat teras kala itu.

Sebelas hari setelah pernikahan, kakak si muslimah datang kepada saya, sambil menangis.

“Lelaki itu brengsek!” Lalu mengalirlah cerita demi cerita tentang suami adiknya.

“Hanya sepuluh hari setelah menikah, lelaki itu sudah main perempuan lain, Asma!”

“Kakak yakin?”

Sang kakak mengangguk.

“Sepuluh hari! Ya Allah. Bukan hanya saya yang memergoki, tapi juga om, tante, saudara-saudara kami.”

“Mungkin perempuan itu rekan kerjanya, kak.”
Saya mencoba berprasangka baik.

“Tidak. Saya yakin tidak.” Si kakak bersikeras.

Pembicaraan putus sampai di situ. Hingga dua bulan kemudian sang kakak datang lagi kepada saya, dengan tangis terisak menceritakan ulah adik ipar yang tak hanya main perempuan, tapi membawanya ke rumah.

Saya hanya bisa beristighfar.
Ingin saya memeluk dan mengalirkan ketabahan kepada si muslimah jika nanti kami bertemu. Kelakuan suaminya sudah keterlaluan.

Tapi alangkah kagetnya ketika suatu hari kami tidak sengaja berpapasan dan si muslimah menceritakan tentang kabarnya setelah pernikahan, suami juga anak yang kini dikandungnya dengan nada gembira.

Saya melihat matanya yang sembab, bahkan le-bam biru di pipinya. Tapi seolah tak menghiraukan tatapan saya, si muslimah terus saja berbicara tentang kebaikan-kebaikan suaminya, kejutan-kejutan manis, canda dan kelucuannya.

Dan ketika saya nyaris berbicara, muslimah tersebut menatap saya, dan kembali mengulang kalimatnya,

“Asma, dia adalah hal terbaik yang pernah datang dalam hidup saya!”

Ingin sekali saya bisa memercayai perkataannya. Tapi kabut di matanya, lalu bibir yang bergetar, membuat saya tidak tahu apa yang harus saya percayai.

Muslimah ini lalu mengalihkan pembicaraan ke hal lain.

Persiapan-persiapan selama masa kehamilan, dan kelahiran nanti.

Saya tak sanggup bicara.
Ketika teman saya itu melahirkan bayi pertamanya, saya mampir dan bertemu dengan ibu si muslimah yang kesehatannya jauh menurun sejak pernikahan anak bungsunya.

“Kasihan dia… kasihan. Menikah dengan lelaki yang tak punya tanggung jawab. Malah menyakiti saja kerjanya!”

Dengan tangis yang panjang pendek, ibu si muslimah merangkul saya dan menumpahkan semua. Lebih dari yang bisa saya tampung.

“Dia tidak pernah bekerja, Asma! Anak saya yang harus membiayai semua. Dia jarang pulang. Bahkan tak pernah peduli dengan darah dagingnya sendiri! Belum setiap hari dia minum, dan memukuli bungsu saya. Kenapa dia tidak menceraikan saja anak saya, daripada membuatnya menderita seperti itu?”

Saya tak bisa menjawab pertanyaan itu. Tidak dengan sikap tertutup si muslimah, yang menyambut saya dengan senyum dipaksakan. Mendadak saya ingat, dulu sekali kami biasa bicara terbuka, bebas, kedekatan yang sudah lintas keluarga. Kapan semuanya berubah? Sejak dia menikah, kah?

“Ini anakku, Asma.”
Berkata begitu si muslimah menyodorkan seorang bayi tampan ke hadapan saya.

“Ganteng kan seperti papanya?” lanjutnya lagi sambil mencium si bayi dalam-dalam. Lalu sederet cerita tentang kebaikan suaminya mengalir.

“Dia membelikan ini buat anak pertama kami,” tuturnya dengan keriangan anak-anak. Pernikahan mereka masih berlangsung hingga saat ini. Beberapa kali saya bertemu dengan teman saya tersebut yang tampak selalu berganti pekerjaan. Anak mereka sudah dua.

Dan sang suami tak kunjung berubah.
Di hadapan saya, si muslimah memangku bayinya yang kedua. Seperti yang sudah-sudah, tak berhenti bercerita tentang suami yang dia banggakan. Di kursi, saya terpaku.
Tidak tahu harus berbicara apa. Sementara sepasang mata tua milik ibu si muslimah, menatap kami dengan pandangan berkabut.

Catatan 4
Jika Saya Dan Suami Bercerai


Kami berdua tidak bisa menebak takdir di masa depan.
Apakah pernikahan kami akan langgeng hingga kematian memisahkan, atau tidak
Saya tidak pernah memikirkan itu sebelumnya. Rumah tangga kami bukan tanpa masalah. Sebagaimana pasangan muda lain, satu dua pertengkaran lumrah rasanya. Lalu kenapa saya mendadak berpikir, what if…?

Ya, bagaimana jika saya dan suami bercerai? Ini gara gara saya tidak bisa menutup kuping terhadap berita perceraian yang kian hangat di kalangan selebritis. Meski nyaris tidak pernah menyengajakan diri menonton infotaintrnent, tapi entah bagaimana info tersebut sampai juga ke telinga. Kadang lewat headline surat kabar infotaintrnent yang seakan disodorkan ke wajah kita, setiap mobil berhenti di perempatan lampu merah atau pom bensin. Terkadang saya tidak sengaja mendengarnya dari percakapan mbak Tri yang sudah lama membantu keluarga kami di rumah, dengan Ibu mertua, atau dari siaran tivi di ruang tengah yang menembus pintu kamar saya.

Meski tidak terlibat, apalagi mengenal sosok artis yang menjadi sorotan berita, saya selalu merasa sedih setiap mendengar perceraian. Apalagi jika diikuti kemarahan.

Saya tidak mengerti. Bagaimana dua orang yang dulu amat sangat mencintai kini sanggup saling menyakiti Bagaimana mereka bisa saling membenci dan mengibarkan bendera permusuhan? Begitu mudahkan cinta yang telah mengakar tercerabut tanpa bekas?

Yang lebih membuat saya sedih adalah jika keduanya sudah memiliki anak. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika sikap menyerang dan saling menyakiti terbaca dan sampai ke telinga anak. Ketika suami istri mulai memerinci kekurangan, berlomba mengatakan hal-hal buruk satu sama lain, bahkan membongkar aib pasangan…
lantas kenangan indah apa yang akan tersisa di benak anakanak , tentang ayah dan ibu mereka?

Soal ini terasa lebih mengganggu ketika seorang saudara kami bercerai. Saya memaklumi kemarahan si suami karena sang istri yang menelantarkan anak -anak, bahkan menginap demi lelaki lain. Kemarahan yang kemudian meluas ketika masalah ini juga diceritakan pihak suami kepada ibunya. Gelombang amarah membesar karena dengan cepat persoalan itu sampai ke pihak keluarga besar, sampai detil yang tak pantas dibicarakan.